Frekuensi
Rumadi, lahir di Pati pada tanggal 12 September 1990. Beralamat di Desa Gajahkumpul, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati Rt.07 Rw. 02. Menyukai sastra sejak SMP. Pendidikan terakhir SMKN 1 Rembang jurusan otomotif. Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena cabang Ciputat dan komunitas Prosa Tujuh.
“Aku tidak mencintaimu, tapi aku mencintai apa yang ada dalam dirimu. Kamu tidak kekal, bisa mati. Sedangkan apa yang dalam dirimu, setengah abadi” kata seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang katanya akan diperjuangkan hingga titik akhir hidupnya. Suara mereka berbisik-bisik, hampir-hampir hanya berupa bisikan. Padahal, keduanya baru kenal beberapa waktu yang lalu.
“Bagaimana kamu bisa mencintaiku? Padahal baru beberapa menit yang lalu, kita duduk di sini. Apakah setiap perempuan yang kamu temui, kamu gombalin kaya gini?” jawab perempuan itu dengan nada renyah dan lebih santai.
“Kita bertemu karena satu frekuensi. Dan kita akan menyatu, karena kita satu frekuensi. Itu kalau memakai bahasa kamu” lelaki itu melanjutkan dengan bahasa yang sulit.
“Aku tidak tahu, apakah kita satu frekuensi atau tidak. Mencintaiku tidak mudah. Terlalu banyak jaring-jaring yang harus kamu lalui, untuk bisa membuktikan bahwa kamu benar-benar mencintaiku. Sainganmu, juga tak mudah untuk dikalahkan” perempuan itu menundukkan pandangannya, seolah terjerat sesuatu yang pernah menyakiti hatinya.
Keduanya diam, menikmati angin malam–yang semakin gelap, semakin dingin terasa.
***
Perempuan itu, mungkin perempuan paling sabar di zaman ini. Ia membiarkan suaminya duduk berjam-jam, bahkan berhari-hari. Ia tahu, ia tak akan bisa meninggalkan lelaki itu. Lelaki yang pernah melewati masa-masa gila bersamanya. Namun ia sadar, segila-gilanya ia, ia harus kembali pada realita.
Pagi itu, ia ke ruangan kerja suaminya–bukan ruangan kerja sebenarnya, melainkan ruangan di mana sang suami hidup dalam dunia khayalannya. Ketika suaminya berada dalam ruangan itu, ia tak akan pernah bisa disadarkan akan kenyataan. Gelas-gelas kopi berantakan, kertas-kertas berceceran, dan ia terlihat sangat lusuh. Rambut lelaki itu awut-awutan, berkemeja, namun terlihat kusut. Kancing paling atas dibiarkan saja tidak dikancingkan, memperlihatkan sedikit bulu tipis yang tumbuh di dadanya.
Sang istri menatap suaminya dengan pandang sedih. Suaminya tak berubah, beberapa psikiater pernah didatangkan. Namun para psikiater itu mengatakan bahwa suaminya sehat-sehat saja. Akhirnya sang istri menyerah, ia menganggap bahwa suaminya baik-baik saja.
Ia mendekati suaminya, kemudian memeluknya. Ia merindukan pelukan itu. Meski tak lama, pagi itu ia hanya ingin memeluk suaminya dengan alasan yang tak bisa dijelaskan. Suaminya memegang kertas, dengan nada berapi-api menjelaskan segala kegilaannya. Bau tinta yang baru saja menitik pada kertas yang dipegang suaminya. Suaminya seperti baru menemukan sesuatu.
Mereka duduk, di kursi kayu yang ada di ruangan itu. Bunyi mesin cetak berderit, sang suami mau menunjukkan sesuatu pada istrinya. Sang istri tetap tersenyum, meskipun sebenarnya ia bosan. Dalam hatinya ia merintih, sampai kapan kita akan seperti ini Mas?
***
Tak selamanya mencintai harus disertai kebersamaan. Ia tak tahan dengan suaminya yang tak mau kembali ke alam sadar. Suaminya dipenuhi dengan kegilaan-kegilaan. Bahkan tak hanya di ruangan kerjanya, suaminya sudah tidak memiliki batas akan kegilaannya sendiri. Di meja makan, di tempat tidur, yang bahkan hanya dimasukinya sesekali, di toilet, ia terus berteriak akan cita-cita, masa depan, makanan hati dan jasad yang membelenggu manusia.
Ia teringat ketika mereka awal-awal bersama. Perempuan itu pernah gila, bahkan lebih gila dari suaminya. Ketika itu keduanya baru menjalin hubungan–yang kata orang sepasang kekasih. Hampir setiap hari mereka bersama, melewati kegilaan hidup berdua.
“Bagaimana kalau sesuatu yang dikatakan bahagia oleh orang-orang bukanlah titik bahagia yang sebenarnya? Bagaimana kalau definisi tentang bahagia, dibentuk manusia tertentu untuk membelenggu manusia lainnya, atau untuk membelenggu suatu kelompok manusia. Apa yang kita lihat di film, buku, pelajaran, diskusi-diskusi tentang kebahagiaan adalah dikte dari orang lain. Bukan dari diri kita sendiri. Bukankah itu menentang kebebasan bahagia itu sendiri?”
Pembahasan-pembahasan gila seperti itu menjadi percakapan sehari-hari hidup mereka.
Perempuan itu sadar, ia yang memulai kegilaan itu. Ia tak menggunakan bahasa yang dipakai oleh umum, ketika keduanya saling bertemu.
***
“Aku melihat sesuatu yang tarik menarik di antara kita. Sebuah gelombang yang diciptakan oleh Tuhan, hingga kita bisa duduk di sini, kemudian membuat bibirmu berkata, apakah kita boleh berkenalan?” jawab perempuan itu yang duduk sendirian, dan ketika tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya dan mengajaknya berkenalan.
“Bahasamu…. aku suka… perempuan sepertimu, pantas untuk diperjuangkan” kata sang lelaki dengan amat yakin.
“Apa pendapatmu tentang takdir? Apakah manusia bisa mengubah takdir? Apakah manusia bisa memilih jalan hidup yang diinginkan oleh dirinya sendiri?” lanjut perempuan itu.
“Pertanyaanmu….” laki-laki itu ragu hendak menjawab.
“Kenapa? Katamu perempuan sepertiku pantas untuk diperjuangkan. Kalau menjawab pertanyaanku saja kamu tak mampu, bagaimana kamu akan memperjuangkanku?” jawab sang perempuan.
“Hmmm… baiklah. Aku berhati-hati dalam menyampaikan pandanganku dengan takdir. Kamu dengarkan, dan jangan tertawakan apa jawabanku” laki-laki itu sengaja memberi celah untuk sang perempuan menjawab lagi pernyataannya.
“Baiklah” sang perempuan mendengarkan, memasang mata dan telinga dengan saksama.
“Takdir. Menurutku, manusia tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Segalanya sudah ditetapkan. Hidup adalah pilihan yang ditakdirkan. Namun tidak ada manusia yang tahu, apa yang sebenarnya ditakdirkan untuk masing-masing mereka. Bagi manusia yang sudah mengerti ritmenya, dia bakal bisa membaca sesuatu yang tak dapat dipahami oleh manusia lain. Ini pendapatku saja, bisa salah, bisa saja benar” sang lelaki menyudahi pernyataannya, takut berceloteh lebih panjang lagi. Sang perempuan tak menyahut. Dalam hatinya berkata, mungkin dia orangnya.
“Kita mungkin satu frekuensi, tapi entahlah, kita baru mengenal, dan belum saling kenal. Tapi jawabanmu, sungguh di luar dugaan, dan itu jawaban yang kuinginkan”.
***
Ia sudah didesak oleh kedua orang tuanya untuk menuntut cerai, apa yang bisa diharapkan lelaki gila macam itu. Untuk menafkahi hidupmu saja, tak mampu, bagaimana nanti kalau sudah punya anak, sekolah mereka, uang jajan mereka, pendidikan mereka. Orang tua perempuan itu beranggapan, apa pantas dilihat orang–jika sang suami berdiam di rumah dengan segala kegilaan yang tidak dimengerti oleh orang lain, dan malah yang bekerja adalah sang istri. Apakah ini kepantasan dalam rumah tangga? Awalnya, ia tak terlalu menggubris segala yang dikatakan orang tuanya itu. Karena ia memahami kegilaan suaminya. Namun lama kelamaan terasa juga olehnya, bisik-bisik tetangga, sahabat-sahabat dekat yang mengenalnya, semuanya menyarankan ia untuk bercerai dengan suaminya. Apalagi belakangan suaminya semakin menjadi.
***
Mereka bertengkar hebat dengan suara lantang. Tak pernah sang suami semarah itu.
“Kamu sudah didikte orang lain, ketika kamu sudah mau didikte oleh orang lain, kamu sudah kehilangan dirimu sendiri. Menurut mereka, aku tidak bertanggung jawab terhadapmu. Ketika kita sudah menuju ke abadi dari yang setengah abadi, akulah yang harus bertanggung jawab tentangmu, bukan kamu, bukan pula mereka! Tulisan-tulisan ini, akan tersebar ke seluruh dunia. Hingga saat itu tiba, kamu hanya perlu bersabar. Hanya sedikit lagi, tapi kamu tidak sabar. Kamu memilih dirimu untuk didikte oleh orang lain” lelaki itu marah. Dengan nada geram ia menyentak-nyentak keras di hadapan istrinya. Padahal, ia belum pernah melakukan itu.
“Aku hanya memintamu kembali pada kenyataan. Bekerjalah. Nafkahi aku. Rumah, makan, dan segalanya aku yang nanggung. Apa kata orang bila terus seperti ini? Apa kata ayah ibuku? Semua orang berpikir buruk tentangmu Mas” sang istri terpaksa mengatakan sesuatu yang pahit.
“Jadi menurutmu aku hidup dalam khayalan? Bukan kenyataan? Kamu tidak tulus hidup bersamaku. Bukankah kamu sudah pernah bilang, bahwa kamu tak membutuhkan materi, kamu hanya butuh seseorang yang bisa memegangmu saat kamu jatuh. Baiklah, mungkin benar kata mereka. Aku tak akan mengganggumu lagi” sang lelaki geram, berjalan ke luar rumah dan membanting pintu.
Perempuan itu lemas, ia sadar, apa yang terucap tidak akan pernah bisa ditarik kembali. Kata-kata bagaikan jimat sakti yang bisa melemahkan, atau menguatkan jiwa manusia.
***
Setelah bertahun-tahun berpisah, keduanya ditemukan oleh ketidaksengajaan. Sebuah gelombang memancar dari aura mereka, yang menyatukan mereka di suatu tempat. Sebuah frekuensi.
Sang istri yang pernah ditinggalkan, membawa anaknya yang lucu. Mereka berada di sebuah kapal, hendak menuju tujuan masing-masing. Keduanya tidak saling tahu, dan tidak ingin tahu kemana tujuan mereka masing-masing.
“Jasadmu tak berubah. Namun, aku rasa apa yang ada di dalam dirimu masih sama saat kutinggalkan dulu” kata mantan suaminya sambil melihat laut yang bergelombang.
Perempuan itu tersenyum.
“Aku ingin meninggalkan kegilaan yang ada dalam diriku. Dan kembali kepada kenyataan.”
“Kenyataan katamu? Cih! Kamu benar-benar sudah kehilangan apa yang ada dalam dirimu. Dunia ini kepalsuan. Kamu terlalu mendengar apa kata orang, tapi kamu tak mau mendengar dirimu sendiri. Aku seperti sudah kehilangan dirimu. Sudah lama malah. Tapi itu pilihanmu, pilihan yang ditakdirkan” kata lelaki itu.
“Sudahlah. Tak usah membahasnya. Lagipula, kita sudah menjadi masa lalu bukan?” jawab perempuan itu.
“Kamu benar.”
Keduanya diam, dan membalikkan badan kembali ke ruangan masing-masing.
***
Perempuan itu ternganga seperti tak percaya. Seminar tentang kebahagiaan yang diikutinya, diisi oleh mantan suaminya. Ia merasa tak tenang, selalu terbayang-bayang akan mantan suaminya itu. Bahkan ketika melakukan senggama dengan suaminya yang sekarang, ia masih tak bisa melupakan kegarangan mantan suaminya ketika di atas ranjang.
Suaminya yang sekarang kaku, tak ada percakapan ketika mereka berhubungan. Sedangkan suaminya yang dulu, sering membahas tentang frekuensi, gelombang, dan semesta ketika mereka bercumbu.
Ia menyimak dengan saksama apa yang disampaikan mantan suaminya, dalam seminar itu. Dan apa yang dia sampaikan adalah percakapan-percakapan keduanya ketika mereka masih menjadi suami istri.
“Bahagia itu mencari ke dalam diri kita, bukan mencari ke luar. Semakin ke luar, akan semakin sengsara hidup ini.” Akhir kalimat dalam seminar itu, juga merupakan kata-kata yang pernah dia ucapkan.
***
Selesai seminar, sang istri menemui pembicara, yang tak lain adalah suaminya.
“Kembalilah pada kenyataan, bukankah itu yang pernah kamu ucapkan padaku?” kata sang lelaki ketika keduanya berhadapan.
“Kamu benar. Aku hanya ingin meminta maaf, atas apa yang sudah pernah aku lakukan padamu” perempuan itu menunduk, merasa bersalah terhadap apa yang sudah dilakukannya dulu. Ada nada isak dalam suaranya.
“Frekuensi ini, gelombang ini, kita pernah membicarannya bukan? Kamu tak sabar, ketika aku meminta kamu bersabar sedikit lagi. Sudahlah, sekarang aku di sini, kamu di situ, di antara kita, ada batas, yaitu suamimu. Meski aku masih mencintaimu” jawab sang lelaki sedih.
Lelaki itu melangkah lagi tanpa menoleh. Seolah ia bisa berdamai dengan masa lalunya. Namun perempuan itu tidak. Ia rapuh. Air matanya menetes. Anaknya menarik-narik lengannya. Sang ibu berusaha tersenyum, kemudian menggendong anaknya. Dan keduanya melangkah berlawanan arah, meninggalkan batas yang sebenarnya tak pernah mereka inginkan.
Lelaki itu mengeluarkan butir-butir bening dari kedua matanya. Ia rapuh dalam ketegaran. Namun, hanya ia dan dirinya sendiri yang tahu, kerapuhan dalam jiwanya.